kesehatan mental lansia

Lee Gay Lord – Dalam wacana kesehatan, kesehatan mental lansia kerap terabaikan karena fokus utama masih pada penyakit fisik. Padahal, di balik tubuh yang mulai renta, tersembunyi risiko kesehatan mental yang sering kali luput dari perhatian. Kesehatan mental lansia bukan sekadar isu tambahan, melainkan persoalan serius yang perlu penanganan sistematis dan berkelanjutan.

Lonjakan Populasi, Ancaman yang Semakin Nyata

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah lansia di Indonesia mencapai 29 juta jiwa pada 2023 dan diperkirakan melonjak menjadi 40 juta pada 2025. Seiring peningkatan populasi ini, tantangan kesehatan mental pun semakin kompleks. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa prevalensi depresi tertinggi terjadi pada lansia, terutama di atas usia 75 tahun (8,9%).

“Baca Juga: Tragis, Pria Tewas Tersedot Mesin MRI Karena Kalung Rantai Besi”

Tak hanya depresi, lansia juga rentan terhadap gangguan kecemasan, skizofrenia, dan bipolar. Sayangnya, akses skrining kesehatan jiwa masih minim. Banyak lansia mengalami depresi ringan hingga berat tanpa diagnosis dan penanganan medis yang tepat.

Fenomena Sosial dan Risiko Bunuh Diri

Fenomena lansia terlibat dalam kasus kekerasan atau bunuh diri, seperti yang terjadi baru-baru ini di Pasuruan, Ciamis, dan Depok, mencerminkan potensi masalah mental yang tak tertangani. Data WHO menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri tertinggi justru terjadi pada kelompok usia lansia, terutama di atas 85 tahun (23,17%).

Hal ini diperparah dengan meningkatnya jumlah lansia yang hidup sendiri. Menurut Susenas 2021, 14,78% lansia perempuan dan 4,74% lansia laki-laki tinggal sendiri. Kesepian menjadi faktor utama penyebab depresi dan ketidakstabilan emosional di usia senja.

Sistem Layanan Kesehatan Belum Responsif

Sayangnya, sistem layanan kesehatan mental di Indonesia masih belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan lansia. Layanan kesehatan jiwa di Puskesmas minim, dan data skrining belum diolah secara optimal. Lansia membutuhkan pendekatan biopsikososial, bukan hanya pemeriksaan tekanan darah atau kadar gula, tetapi juga suasana hati, kualitas tidur, kecemasan, dan relasi sosial.

Keluarga dan Komunitas Punya Peran Vital

Di tengah keterbatasan sistem layanan, keluarga memegang peran utama dalam menjaga kesehatan mental lansia. Dukungan emosional dari anak, cucu, dan kerabat memberi dampak besar bagi kepercayaan diri dan perasaan dibutuhkan. Selain itu, komunitas seperti Posyandu lansia, Dasa Wisma, hingga kelompok pengajian bisa menjadi ruang interaksi sosial yang bermakna.

Pemerintah daerah juga didorong lebih aktif dalam edukasi, pelatihan kader, serta menyediakan layanan konseling lansia. Program seperti cek kesehatan mental gratis perlu ditindaklanjuti secara konkret berbasis data.

Menghargai Lansia Lewat Aksi Nyata

Menjamin kesehatan mental lansia bukan hanya soal pelayanan medis, tapi juga soal penghargaan atas nilai dan pengalaman hidup mereka. Lansia bukan beban pembangunan, melainkan aset sosial yang berharga. Saatnya menjadikan layanan kesehatan mental lansia sebagai tradisi baik, bukan simbolik semata.

“Simak Juga: Skulls as Trophies, Praktik Kuno Mengambil Tengkorak Manusia sebagai Simbol Kekuasaan”

Similar Posts