Sindrom Klinefelter (XXY): Kelainan Genetik pada Laki-laki
Lee Gay Lord – Sindrom Klinefelter adalah kelainan genetik yang terjadi pada laki-laki, di mana mereka memiliki satu kromosom X ekstra. Normalnya, laki-laki memiliki kromosom seks XY, tetapi pada penderita sindrom ini, kromosom seksnya menjadi XXY. Kondisi ini pertama kali diidentifikasi oleh Dr. Harry Klinefelter pada tahun 1942, dan kini dikenal sebagai salah satu kelainan kromosom seks yang paling umum, terjadi pada sekitar 1 dari 500 hingga 1.000 kelahiran laki-laki.
Sindrom Klinefelter disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel saat pembentukan sel telur atau sperma. Akibatnya, anak laki-laki yang lahir dari sel tersebut mewarisi satu kromosom X tambahan. Tambahan kromosom ini memengaruhi perkembangan fisik dan mental penderitanya, meskipun tidak selalu terlihat pada masa kanak-kanak.
“Simak Juga: Mengapa Nyeker itu Sehat? Simak Uraian Ini”
Gejala sindrom Klinefelter bervariasi dan sering kali tidak disadari hingga masa pubertas atau dewasa. Beberapa ciri umum meliputi:
Gejala ini bisa ringan hingga berat, tergantung dari jumlah kromosom X tambahan dan respons tubuh terhadap ketidakseimbangan hormonal.
Diagnosis sindrom Klinefelter biasanya ditegakkan melalui tes analisis kromosom (kariotipe) dan pemeriksaan kadar hormon. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada tanda-tanda fisik atau masalah perkembangan yang mencurigakan.
Meskipun tidak dapat disembuhkan, sindrom Klinefelter dapat dikelola dengan baik. Terapi testosteron sering diberikan sejak masa remaja untuk membantu perkembangan karakteristik pria sekunder seperti suara berat, pertumbuhan otot, dan gairah seksual. Selain itu, terapi wicara, pendidikan khusus, dan dukungan psikologis juga penting dalam membantu penderita mengatasi hambatan belajar dan sosial.
Sindrom Klinefelter merupakan kondisi genetik yang dapat memengaruhi kualitas hidup, terutama jika tidak terdiagnosis sejak dini. Dengan deteksi dan penanganan yang tepat, individu dengan sindrom ini tetap bisa menjalani hidup yang sehat, produktif, dan bahagia. Kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai kondisi ini sangat penting untuk mendukung inklusi dan kualitas hidup penderita.
“Baca Juga: FIB USU-Karo Foundation Angkat Sejarah Aru dan Karo”