Peredaran Rokok Akan Diperketat, Tempat Hiburan Jadi Target
Lee Gay Lord – Peredaran rokok di wilayah DKI Jakarta akan semakin diperketat melalui sejumlah kebijakan baru yang sedang disiapkan pemerintah provinsi. Pemerintah Provinsi Jakarta tengah menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang rencananya juga akan mencakup tempat hiburan seperti bar, diskotek, hingga karaoke.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran karena dianggap berpotensi mengganggu sektor hiburan dan pariwisata yang sedang berusaha bangkit pascapandemi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyebutkan bahwa pembatasan merokok di tempat hiburan berisiko menimbulkan efek domino terhadap rantai ekonomi. Hal ini mencakup sektor makanan, minuman, jasa akomodasi, dan industri kreatif yang berkaitan.
“Simak Juga: Hari Hepatitis Sedunia 2025, WHO Ungkap Tantangan dalam Eliminasi Penyakit”
“Kalau pengunjung berkurang karena tidak boleh merokok, maka permintaan terhadap makanan, minuman, dan produk kreatif juga ikut turun. Ini efek domino,” kata Heri dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025).
Menurut Heri, tempat hiburan malam pada umumnya memiliki konsumen dengan demografi usia dewasa, yakni di atas 21 tahun. Oleh karena itu, jika tujuannya adalah untuk mengurangi prevalensi perokok usia muda, kebijakan ini dianggap salah sasaran.
“Sasarannya harus relevan. Kalau tujuannya menurunkan angka perokok muda, fokuskan saja ke sekolah atau lingkungan pendidikan. Bukan ke bar atau klub malam yang konsumennya jelas sudah dewasa,” ujarnya menegaskan.
Ia juga mengingatkan bahwa sektor perhotelan dan pariwisata saat ini masih mengalami tekanan berat. Aturan baru peredaran rokok ini dikhawatirkan akan memperburuk keadaan, bahkan bisa meningkatkan jumlah pengangguran.
“Sudah banyak hotel yang tutup atau sepi. Otomatis tenaga kerja dikurangi. Ada yang jam kerjanya dipotong, bahkan di-PHK. Ini berpotensi menambah angka pengangguran,” tambah Heri.
Selain itu, Heri menekankan pentingnya membedakan regulasi untuk rokok konvensional dan rokok elektrik. Menurutnya, keduanya memiliki karakteristik risiko yang berbeda.
“Rokok elektrik tidak melalui proses pembakaran dan tidak menghasilkan tar. Risiko kesehatannya tentu berbeda. Sayangnya, semua produk tembakau masih dianggap satu jenis oleh pemerintah,” jelasnya.
Ia mendorong agar penyusunan kebijakan dilakukan secara lebih cermat, mempertimbangkan karakter sektoral dan berbasis data aktual, agar tidak menjadi beban tambahan bagi industri yang tengah berjuang untuk pulih.
“Baca Juga: Lowongan Komite Audit USU 2025-2030 Resmi Dibuka, Ini Jadwal dan Persyaratannya”
This website uses cookies.