Kontroversi: Dokter Umum Boleh Lakukan Operasi Caesar?
Lee Gay Lord – Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana memberikan izin kepada dokter umum untuk melakukan operasi caesar. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa kebijakan ini bertujuan menjawab kebutuhan di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), yang minim tenaga spesialis obstetri dan ginekologi (Obgyn).
Langkah ini diambil untuk menekan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) saat persalinan, yang masih tinggi di banyak daerah terpencil. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, AKI di Indonesia tercatat sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup, angka yang masih jauh dari ideal.
Penyebab tingginya AKI di daerah 3T di antaranya adalah keterlambatan dalam pengambilan keputusan medis, terbatasnya akses ke layanan kesehatan, dan kurangnya fasilitas dengan tenaga profesional. Penyebab langsung seperti perdarahan, preeklampsia, dan infeksi sering kali tidak tertangani dengan baik akibat kurangnya dokter spesialis.
“Simak Juga: Hati-Hati! Konsumsi Matcha Berlebihan Bisa Masuk UGD”
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), pada 2023 jumlah dokter spesialis Obgyn hanya sekitar 6.050 orang. Sementara Bappenas menyarankan rasio ideal sebesar 0,28 dokter Obgyn per 1.000 penduduk (28 per 100.000). Sebagian besar dokter terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sementara daerah seperti Maluku Utara, Gorontalo, dan Bangka Belitung sangat kekurangan.
Secara hukum, pelaksanaan operasi oleh tenaga medis tunduk pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pendelegasian tindakan medis hanya diperbolehkan dalam situasi darurat, dan tetap harus berada di bawah supervisi dokter yang kompeten. Hal ini juga ditegaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7, yang mewajibkan dokter hanya melakukan tindakan sesuai kompetensinya.
Artinya, dokter umum hanya bisa diberi kewenangan melakukan operasi caesar dalam kondisi luar biasa, bukan sebagai kebijakan permanen. Selain itu, tindakan medis yang dilakukan tanpa kompetensi dapat dikenakan sanksi pidana jika terjadi kesalahan atau kelalaian.
Pemerintah tidak bisa berhenti pada kebijakan jangka pendek. Solusi utamanya adalah meningkatkan jumlah dokter spesialis dan memperbaiki distribusinya, terutama ke daerah-daerah dengan AKI tinggi.
Peningkatan insentif finansial, jaminan keamanan, fasilitas memadai, dan jenjang karier yang jelas merupakan kunci untuk mendorong dokter spesialis bersedia ditempatkan di wilayah 3T. Evaluasi menyeluruh terhadap distribusi dokter juga penting, agar tidak terjadi penumpukan di satu wilayah dan kekosongan di lainnya.
Jika pendelegasian operasi caesar kepada dokter umum memang diperlukan, harus dipastikan dokter tersebut telah mendapatkan pelatihan khusus, pendampingan, serta berada dalam pengawasan dokter spesialis. Pemerintah juga harus menetapkan kriteria yang ketat mengenai situasi darurat yang membenarkan tindakan tersebut.
Risiko hukum dan medis tidak bisa diabaikan. Tanpa pelatihan dan pengawasan yang tepat, tindakan ini bisa menjadi bumerang dan justru meningkatkan risiko malpraktik.
Wacana pemberian izin operasi caesar kepada dokter umum hanya dapat diterima sebagai solusi sementara dalam keadaan darurat. Pemerintah harus tetap berkomitmen memenuhi amanat UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 3 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, yaitu menjamin akses terhadap layanan kesehatan berkualitas, termasuk keberadaan dokter spesialis.
Kebijakan yang menyentuh nyawa manusia tidak boleh dilandaskan pada solusi darurat jangka pendek saja. Namun, perlu dikuatkan dengan upaya sistemik yang berkelanjutan.
“Baca Juga: Sedih, Indonesia Tak Masuk 10 Kota Paling Bahagia Dunia 2025”