Kemiskinan, Utang, dan Kesehatan Jiwa: Benang Kusut yang Harus Diurai
Lee Gay Lord – Di tengah gemuruh pembangunan dan kemajuan infrastruktur, Indonesia menyimpan sebuah epidemi hampir tak terdengar: krisis kesehatan jiwa. Ini bukan sekadar masalah individu, melainkan darurat kesehatan masyarakat yang perlahan menyergap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data Riskesdas 2018, satu dari sepuluh orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Lebih dari 19 juta penduduk di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta di antaranya mengalami depresi. Angka-angka ini menunjukkan bahwa di setiap keluarga, di setiap kantor, dan dalam komunitas kita, ada jiwa yang berjuang dalam senyap.
Definisi sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak hanya ketiadaan penyakit, namun “keadaan sejahtera yang utuh, baik secara fisik, mental, maupun sosial”. Namun, definisi ideal ini kerap berbenturan dengan kenyataan di lapangan, di mana tekanan ekonomi, stigma, dan lingkungan yang tak mendukung menjebak banyak orang di dalam penderitaan yang tak terlihat.
Hubungan antara kesulitan ekonomi dan tekanan mental bukanlah kebetulan, ia adalah pola sebab-akibat. Kemiskinan memperkuat stres harian: ketidakpastian penghasilan, utang menumpuk, dan kebutuhan dasar yang sulit terpenuhi menjadi beban berat. Stres berkepanjangan ini dapat memicu depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan kognitif, termasuk menurunnya kemampuan untuk berpikir jernih.
Penelitian menunjukkan bahwa tekanan keuangan kronis secara signifikan menguras “ruang kognitif” seseorang, yaitu sumber daya mental yang digunakan untuk mengambil keputusan. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: kemiskinan memicu stres, stres mengganggu pemikiran rasional, dan keputusan buruk semakin memperdalam kemiskinan.
Lebih dari itu, di era digital muncul sumber tekanan baru: pinjaman online (pinjol) ilegal. Banyak orang terjerat bunga tinggi dan metode penagihan yang kejam, penagih sering memanfaatkan rasa takut, menyebar fitnah melalui media sosial dan telepon, atau menggunakan tekanan sosial untuk mempermalukan korban. Bentuk “penghukuman sosial” semacam ini menimbulkan trauma mendalam, yang dalam banyak kasus mendorong depresi berat dan pikiran bunuh diri.
Puncak tragis dari krisis ini adalah bunuh diri. Namun data resmi kita jauh dari gambaran sesungguhnya. Sebuah studi besar menyebut bahwa angka pelaporan kasus bunuh diri di Indonesia bisa mengalami underreporting sebesar 859,10%. Artinya, untuk satu kasus tercatat, hampir sembilan kasus lain tidak tercatat secara formal. Ini merupakan salah satu tingkat kesalahan pelaporan tertinggi secara global.
Studi itu juga menunjukkan bahwa risiko bunuh diri di daerah pedesaan 4,47 kali lebih tinggi dibanding perkotaan, lokasi di mana pelayanan kesehatan mental jauh lebih langka. Mereka yang paling rentan sering berada jauh dari pusat layanan. Di sisi lain, sistem kesehatan mental kita sangat timpang: rasio psikiater mencapai 1 banding 200.000 penduduk, jauh dari standar WHO (1 per 30.000). Jumlah psikolog klinis hanya sekitar 4.000, dan sebagian besar terkonsentrasi di kota besar di Pulau Jawa. Ini seperti Jakarta dan Bandung, sementara di daerah terpencil, nyaris tidak ada akses.
Stigma budaya menambah beban: sebutan kasar seperti “gila” atau “kenthir” masih digunakan. Banyak orang menutup diri, memilih diam ketimbang mencari bantuan yang mereka butuhkan.
Meskipun sistem pusat tampak rapuh, harapan muncul dari langkah-langkah nyata di akar rumput melalui model Upaya Kesehatan Jiwa Berbasis Komunitas (UKBM Jiwa). Pendekatan ini melakukan task-shifting, melatih kader lokal untuk menjadi garda depan dalam identifikasi dini, dukungan emosional, dan penghubung dengan fasilitas kesehatan.
Contohnya, program “Posyandu Jiwa” di Jawa Timur telah berfungsi sebagai titik temu komunitas untuk screening kesehatan jiwa dan rujukan ringan. Program pendampingan oleh Pusat Rehabilitasi YAKKUM di Yogyakarta juga telah berjalan lebih dari enam tahun dan menunjukkan bahwa sistem terdesentralisasi yang sederhana tapi konsisten dapat menyentuh mereka yang selama ini terabaikan.
Untuk memutus lingkaran ini, kita butuh tindakan kolektif:
2. Komunitas dan Lembaga Non-pemerintah harus memperluas kader kesehatan jiwa di desa dan kota, mengorganisir pelatihan literasi mental, dan melawan stigma lewat aksi nyata, bukan sekadar kampanye verbal.
3. Individu dan keluarga dapat memainkan peran vital dengan membangun ruang aman di rumah dan komunitas. Kita perlu memperkuat literasi kesehatan mental, saling mendengarkan tanpa menghakimi, dan memprioritaskan kesejahteraan jiwa sama seperti tubuh fisik.
“Simak Juga: USU Sabet 4 Penghargaan Kehumasan di AHI 2025”
Informasi ini bersumber dari KompasHealth. Di tengah gemuruh pembangunan dan kemajuan infrastruktur, Indonesia menyimpan sebuah epidemi hampir tak terdengar: krisis kesehatan jiwa. Simak ulasan lengkapnya di LeeGayLord.
|Penulis: Lukman Azhari
|Editor: Anna Hidayat
This website uses cookies.